Recent Posts

Rabu, 28 September 2011

Sejarah Batik Bakaran

SEJARAH BATIK TULIS DESA BAKARAN WETAN KECAMATAN JUWANA

Bakaran wetan adalah desa di kecamatan Juwana, Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini hanya berada lebih kurang 2 km ke sebelah barat dari pusat ibu kota kecamatan Juwana.Sebagaimana desa-desa lainnya di kecamatan Juwana, mayoritas penduduk desa ini bermata pencarian sebagai petani tambak, baik tambak Udang Windu maupun tambak bandeng atau juga sebagai petani garam. Namun tidak sedikit masyarakatnya yang terjun di bidang niaga dan industri rumah tangga.Bersama desa Bakarankulon yang bersebelahan, desa Bakaranwetan ini mempunyai para pengrajin batik Bakaran yang masih tetap bertahan. Batik Bakaran merupakan batik tulis yang dikerjakan secara tradisional dan telah menjadi salah satu ikon kota Juwana dan Kabupaten Pati.Dari sektor industri, di desa ini terdapat aneka industri rumah tangga utamanya industri pengrajin kuningan yang banyak menyerap tenaga kerja dari daerah sekitarnya bahkan dari kecamatan tetangga seperti kecamatan Jakenan.Sejarah panjang kerajinan batik tulis di desa Bakaran Wetan berawal dari sebuah kisah yang bermulaLegenda dari runtuhnya Kerajaan Majapahit oleh Demak. Para pengikut kerajaan Majapahit melarikan diri, diantara para pelarian termasuk adalah Ki Bicak, Nyai Bicak, Nyi Danowati (Murni Sabirah), Joko Suyono, Ki Dhukut, dan Ki Joyo Truno.

Rombongan itu menyamar sebagai rakyat biasa dan berjalan menuju tempat Ki Ageng Sela di Purwodadi untuk mencari swaka politik. Setelah bertemu dengan Ki Ageng Sela, rombongan tidak bisa ditampung karena tidak ada jaminan keselamatan bahwa di wilayah itu aman bagi mereka. Akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan dan berpencar menjadi beberapa bagian. Rombongan Ki Dhukut dan Adiknya Sabirah beserta Joko Suyono berjalan ke utara. Sabirah akhirnya menemukan tempat peristirahatan (mekuwon) dan akhirnya tempat itu dinamakan Pekuwon.

Ki Dhukut melanjutkan perjalanan dan menemukan tempat yang dipenuhi tanaman Druju (Druju sing ana), sehingga tempat itu dinamakan Druju Ana atau Juwana. Suatu ketika sang adik menyusul Ki Dhukut, dan merasa tempat tersebut lebih baik Sabirah akhirnya ikut kakaknya dan mulai babat alas bersama. Merasa hasilnya sedikit karena perempuan, maka Sabirah meminta kakaknya untuk mencari kayu bakar dan ia akan membakarnya. Lantas abu hasil bakaran tersebut yang terkena angin mengenai daerah menjadi batas wilayah milik Sabirah. Lantas daerah tersebut disebut Bakaran.

Desa Bakaran kian ramai. Sabirah mendirikan bangunan mirip Langgar (mushala) dan membuat sumur biar dikira sebagai tempat berwudlu. Akhirnya Joko Suyono datang dan bermaksud melamar Sabirah. Sabirah memberikan persyaratan agar Joko membuat sumur sejumlah tujuh dalam waktu semalam. Karena merasa sakti, Joko menyanggupi permintaan tersebut tetapi, sampai batas waktu yang ditentukan ia hanya sanggup membuat enam sumur. Joko Suyono mengaku telah membuat tujuh sumur dengan sumur yang sudah ada. Untuk membuktikannya, Sabirah meminta Joko suyono meminum air sumur. Kalau bohong, Joko suyono akan mati. Akhirnya Joko Suyono menyetujui kembali permintaan Murni sabirah. Karena terbukti berbohong, Joko suyono pun meninggal. “Sampai sekarang sumur itu disebut sumur sumpah. Dan, karena sering dijadikan untuk bersumpah dan banyak menelan korban, akhirnya beberapa tahun lalu oleh pemerintah kabupaten sumur itu di tutup”.

Di desa itu, Sabirah, yang kemudian dikenal sebagai Nyi Ageng Bakaran, bersama masyarakat Bakaran hidup dengan medel (membatik) dan jualan nasi. Motif batik itu berasal dari Majapahit yang kemudian dikembangan di desa Bakaran. Nama-namanya hampir sama dengan batik Solo atau Jogja namun bentuk motifnya tidak begitu jelas. Misalnya motif binatang atau tanaman tidak sejelas atau sebagus dari motif Solo atau Jogja. “Ciptaan Sabirah di desa bakaran adalah motif Gandrung. Motif ini adalah kisah cinta Joko Suyono terhadap Sabirah,” terang Bukhari yang merupakan keturunan ke-5 pengusaha batik Bakaran yang masih eksis hingga kini.

Dari sinilah batik Bakaran berkembang hingga sekarang. Terdapat 24 motif klasik batik Bakaran, dan sekarang sudah jarang dibuat karena kerumitan dan pekerjaan membuat satu kain membutuhkan waktu hingga satu bulan lebih. Menurut Bukhari, pemilik batik tulis Cokro ini, bahwa ia akan membuat batik tulis klasik hanya karena pesanan saja. Selain proses pembuatan memakan waktu lama batik motif klasik ini jarang peminat. Berbeda dengan motif baru, yang lebih dinamis dan ngejreng peminatnya banyak.

Penghormatan terhadap Nyi Ageng Bakaran hingga kini masih dilakukan, setiap tahun dilakukan upacara bersih desa dengan menanggap wayang kulit semalam suntuk. Dan, yang lebih unik lagi bahwa setiap malam Jumat, masyarakat Bakaran ngalap berkah dengan cara berdoa di dekat sumur sumpah, yang telah ditutup, dengan bunga setaman dan membakar kemenyan. Hal itu bergiliran, seperti yang tampak pada malam lebaran itu. Warga hilir mudik hingga diri hari.

Semoga kerajinan batik tulis di Juwana semakin berkembang ditengah gencar – gencarnya pengakuan negara tetangga terhadap beberapa budaya asli Indonesia.

sumber : http://pragolo.wordpress.com


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More